!-- all in one seo pack 1.4.91 ob_start_detected [-1,-1] --> BaBel Island: Tanggung Jawab Siapa?

5.13.2009

Tanggung Jawab Siapa?


Ada slogan yang sangat populer di kalangan mahasiswa, -Jogja khusnya-, slogan itu berbunyi ''logika tanpa logistik anarkis''. Ada tiga kata kunci dalam slogan tersebut, logika, logistic dan anarkis. Dari selogan ini saya berupaya menganalisa dampak dari besarnya jumlah anak balita yang mengalami gizi buruk di negeri ini.

Logika merupakan instrumen yang sangat penting -fital- bagi setiap manusia. Logika sendiri bersumber dari akal, yang dengannya manusia bisa di katakan sebagai ''manusia''. Dengan akal pula manusia menjadi berbeda dengan hewan dan seterusnya, hingga ia menjadi tolak ukur dari kemajuan sebuah bangsa.


Logistik merupakan bagian kedua yang tak kalah pentingnya dengan akal. Otak kita tak akan sehat kalau tidak diberikan gizi yang cukup. Sederhananya kalau otak tidak sehat maka kecerdasannya-pun akan berkurang. Disinilah permasalahannya, bagaimana Negara yang menyatakan diri telah siap bertarung dalam jurang globalisasi ini, ternyata menyimpan 2,3 juta balita yang mengalami gizi buruk.

Dari sini jelas bahwa ''kebodohan'' merupakan kata kotor pertama yang akan kita terima, sebagai dampak kasus gizi buruk ini, lalu bagaimana kita akan bertarung, jika kebodohan diangkat jadi sahabat karib?. Ketika kebodohan sudah bersahabat dengan anak-anak negeri ini, maka ''kemiskinan'' akan menjadi kata kotor kedua.

Menyusul selanjutnya kerusuhan, kejahatan, tertinggal, terbelakang, dan pada akhirnya bangsa ini akan kembali seperti semula. Berdiri sebagai bangsa yang terjajah. Dan niat untuk ikut bertarung dalam ‘’bola api’’ globalisasi hanya tinggal kenangan. Ini hanya gambaran kecil dari rentetan konsekuensi yang akan kita terima bila kasus gizi buruk ini tak segera di carikan solusinya.

Ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama maraknya kasus gizi buruk di Indonesia. Padahal masalah ini bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan. Masalah ini kompleks, tidak hanya dari segi ekonomi dan kesehatan, tetapi dari aspek sosial dan budaya.Pemantauan tim Antropologi UI 1994 di Yahukimo misalnya, menunjukkan bahwa masalah kekurangan gizi muncul seiring dengan semakin berkurangnya wilayah tanam masyarakat karena pembabatan hutan sagu dan industrialisasi yang juga mematikan sumber-sumber makanan protein lainnya.

Konon di Sambas, 50% balita yang mengidap gizi buruk bukan disebabkan karena kemiskinan melainkan karena budaya makan. Kebanyakan ibu-ibu yang baru melahirkan mengkonsumsin nasi dan ikan kering tetapi tidak sayur karena sayur berkorelasi dengan kemiskinan.Dari hasil laporan ini jelas, bahwa solusi yang bersifat kuratif saja tidaklah cukup. Kita tidak bisa berharap masalah gizi buruk bisa ditangani sepenuhnya tanpa menyelesaikan akar masalahnya. Oleh karena itu, pendekatan promotif dan preventif yang bisa membuka kesempatan bagi pemberdayaan masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan, jauh lebih penting karena disinilah akar permasalan yang sebenarnya.

Namun bukan berarti Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk yang telah dikeluarkan sejak Juli 2005, seperti pemberian makanan tambahan, promosi keluarga sadar gizi dan revilatisasi posyandu, tidak berguna sama sekali. Namun sekali lagi perlu ditekankan bahwa pemerintah hendaknya lebih arif dalam mencari solusi yang tepat untuk masalah ini. Jangan sampai anak-anak yang lahir selanjutnya ikut merasakan kepedihan yang diakibtakan oleh Negara yang salah urus.

mau berlangganan info-info terbaru dari blog ini, silahkan masukkan email anda 100% gratis:

by FeedBurner

Tidak ada komentar:

 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by babel@crew Converted into Blogger Template by Bloganol dot com